Hedging Alias Melindungi Kekayaan

Perusahaan-perusahaan besar memiliki cara melindungi aset dengan hedging. Misalnya saja, mereka punya utang dalam bentuk valuta asing yang jatuh tempo lima tahun yang akan datang. Mereka akan meneken kontrak pembelian valuta asing pada nilai yang disepa­kati, dengan tanggal realisasi sesuai jatuh tempo utang.

Tentu saja ada biaya. Tapi bagi perusahaan-perusahaan besar, biaya itu tidak menjadi masalah. Lebih baik membayar biaya yang besarnya bisa dipastikan (predictable), daripada menanggung risiko yang tidak terbatas. Lebih baik membayar biaya untuk memperoleh nilai kurs yang affordable, daripada menghadapi risiko membengkak­nya utang berlipat ganda akibat gejolak nilai tukar.

Bagi masyarakat kecil, sulit untuk melakukan hedging seperti hatnya pengusaha besar. Selain akses yang terbatas, hedging seperti itu terlatu rumit. Lagipula, aset yang dimiliki tidak selalu terkait dengan nilai dolar. Karena itu, hedging yang bisa dilakukan adalah menabung dalam bentuk emas.

Emas adalah pelindung terhadap nilai dan kekayaan (protec­torof value andwealth). Semakin tinggi inflasi, biasanya akan sema­kin baik kenaikan harga emas. Semakin orang-orang panik mengha dapi ketidakpastian ekonomi, semakin harga emas semakin melam­bung.

Tetapi, patut dicatat bahwa harga emas akan cenderung kon­stan bila laju inflasi rendah. Harga emas bahkan cenderung sedikit menurun apabila laju inflasi di bawah dua digit, dan kurs dolar stabil. Jadi, emas hanya akan bagus bila terjadi inflasi moderat (dua digit), dan akan lebih bagus lagi bila terjadi inflasi hiper (tiga digit).

Karena itu, emas sangat cocok dipakai sebagai pelindung nilai kekayaan. Emas nilainya cenderung stabil dan dianggap tidak punya efek inflasi (zero inflation effect). Kalangan konsultan investasi menyebut emas sebagai save heaven. Aset yang aman dan stabil, hingga menyerupai “keamanan surgawi”.

Pakar investasi dan keuangan, Roy Sembel, berpendapat bahwa emas memang sangat menarik sebagai sarana lindung nilai atau hedq­ing jangka pendek (Tabloid Kontan, Edisi Minggu II Maret 2008, hlm. 12). Menurut Roy, untuk jangka sekitar lima tahun, kinerja emas masih lebih menarik ketimbang obligasi. “Namun, emas masih kalah jauh jika dibanding dengan saham,” kata Roy Sembel. Menurut hi­tungan Roy, dalam waktu lima tahun keuntungan di saham bisa 5-7 kali lipat. Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, keuntungan menyimpan emas mungkin hanya 2-3 kali lipat.

Mengikuti pendapat Roy Sembel di atas, disimpulkan bahwa investasi saham memberi hasil lebih bagus dalam jangka lima tahun. Tapi perlu diingat bahwa investasi saham memerlukan keterampilan khusus untuk menilai fundamental dan pertumbuhan jangka panjang perusahaan yang sahamnya kita beli. Salah pilih saham, modal bisa menjadi not. Selain itu, investasi saham memerlukan perhatian khusus, yang kadangkala melebihi merawat bayi. Sebaliknya, me­nyimpan emas tidak memerlukan keterampitan apa-apa. Hanya bu­tuh sedikit biaya untuk menyewa safe deposit box.

Emas memang bisa digunakan untuk meminimalkan risiko ter­kikisnya kekayaan-seperti yang terjadi di bursa saham manakala indeks harga saham anjlok. Namun dianjurkan agar menyimpan emas di tempat yang betul-betul aman, misalnya di safety deposit box di bank-bank. Sebaiknya kita tidak mengambil risiko untuk menyimpan­nya di rumah, karena misi perlindungan nilai kekayaan akan menjadi sia-sia. Berbagai peristiwa yang tak diduga dan tak diinginkan bisa membuat emas kita lenyap dalam sekejap. Misalkan saja emas itu dicuri, maka nilai investasi kita menjadi nol besar.

Segerobak Uang Ditukar Sebungkah Roti

Menurut teori ekonomi, salah satu fungsi uang di samping seba­gai alat transaksi atau tukar-menukar adalah sebagai alat penyimpan kekayaan. Teori tinggal teori, sebab uang kertas (fiat money) sering kati kehitangan fungsinya sebagai alat penyimpan kekayaan. Pada saat ekonomi mengalami krisis, nilai uang kertas menguap dengan sendirinya. Jika kekayaan dicerminkan oleh daya beli, maka orang­orang yang punya uang kertas akan kehilangan sebagian besar keka­yaannya.

Bahkan sebagai alat transaksi pun, uang kertas sering kehilangan nilainya. Di Jerman tahun 1920-an, orang-orang menukar uang kertas deustche mark satu pedati penuh, hanya untuk beberapa bungkah roti. Bayangkan, nilai uang bisa jatuh menjadi lebih rendah diban­dingkan biaya cetaknya. Mungkin di musim dingin, uang kertas bisa bermanfaat untuk dibakar sebagai penghangat ruangan.

Tapi, walaupun nilai uang kertas anjlok hingga segerobak uang sama nilainya dengan beberapa bungkah roti-nilai emas justru stabil. Fungsi emas sebagai treasury masih tetap kuat. Ini disebabkan ka rena kepercayaan masyarakat yang masih stabil terhadap emas. Emas sulit diproduksi secara massal seperti halnya uang kertas.

Memperhatikan laju harga emas memang ibarat melihat bayang­bayang inflasi dan resesi. Selain resesi akibat subprime mortgage belakangan ini, Amerika Serikat pernah terlanda the great depres­sion pada periode 1930-1936. Pada Oktober 1929 bursa saham hancur, dunia usaha macet, bank-bank ditutup, pengangguran melonjak ting­gi, dan orang-orang merampok untuk mendapatkan makanan. Perda­gangan luar negeri juga menurun tajam.

Pada tahun 1930 KongresAS meloloskan undang-undang Hawley­Smoot yang membuat pajak impor tertinggi dalam sejarah AS. Kebi­
jakan ini ditempuh untuk menghemat devisa. Kebijakan yang dimak­sud untuk membela nilai tukar dolar itu ternyata berbuntut petaka. Eropa membalas dengan melakukan hat sama dan terpaksa mengem­ptang utang perang sebesar sekitar US$ 12 miliar.

“Perang dagang” itu memperburuk situasi. Barang dan jasa menjadi langka di pasaran. Inflasi pun melonjak tinggi. Daya beli masyarakat ambruk, sehingga terjadilah stagflasi. Ketika inflasi me lonjak dan bank-bank bangkrut massal, harga emas melonjak sangat tinggi. Orang lebih suka menukar lembaran dolar mereka dengan logam mulia.